MATARAMPOS – Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menegaskan faskes atau klinik yang mengenakan tarif pemeriksaan PCR ekspres dengan biaya mencapai Rp600 – 750 ribu telah melanggar ketentuan yang ditetapkan Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat telah menetapkan tarif maksimal pemeriksaan PCR di NTB sebesar Rp300 ribu.
“Tidak boleh di atas Rp300 ribu. Karena sudah melanggar ketentuan yang ditetapkan pusat. Rp300 ribu itu harga maksimal,” kata Kepala Dikes NTB, dr. H. Lalu Hamzi Fikri, M.M., MARS., Kamis, 18 November 2021.
Fikri menyebutkan ada 8 Laboratorium PCR di Pulau Lombok. Yaitu, RSUD NTB, RSUD Kota Mataram, RSUD dr. Soedjono Sekong, RSAD Wirabhakti, RS Unram, RS Bhayangkara, RSUD Praya dan MMC Mataram. Jika ada klinik yang membuka layanan pemeriksaan PCR, maka harus bekerja sama dengan salah satu dari Laboratorium PCR terdebut. Jika tidak ada kerja sama, maka klinik tersebut Ilegal.
“Layanan PCR yang ada saat ini harus bekerja sama dengan Faskes yang berizin. Tarifnya tetap menggunakan tarif maksimal yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Maksimal Rp300 ribu. Turun boleh, lebih jangan. Prinsipnya bagaimana servis kita lebih maksimal kepada para pengguna PCR,” ungkap Fikri.
Sebelumnya masyarakat mengeluhkan adanya layanan PCR biasa dan ekspres di Kota Mataram. Untuk layanan PCR biasa, tarifnya Rp300 ribu. Namun masyarakat harus menunggu hasilnya keluar 1×24 jam. Namun jika menggunakan layanan PCR ekspres, tarifnya mencapai Rp600 – 750 ribu. Dengan hasil PCR keluar dalam waktu 8 jam.
Kepala Dinas Kesehatan NTB menegaskan tidak ada layanan PCR biasa dan ekspres. Sehingga layanan pemeriksaan PCR tarifnya maksimal Rp300 ribu. Jika ada yang melebihi tarif maksimal tersebut maka masuk pelanggaran. Sebelumnya, Pemprov NTB telah menyurati Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Direktur Rumah Sakit, Kepala Laboratorium Kesehatan Pemeriksa Covid-19 dan Pimpinan Klinik se – NTB terkait turunnya tarif atau biaya pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Tarif tertinggi pemeriksaan PCR kini diturunkan menjadi Rp300 ribu.
Hal tersebut menindaklanjuti Surat Edaran Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) No.HK.02.02/1/3843/2021 tanggal 27 Oktober 2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan RT – PCR. Tarif tertinggi pemeriksaan RT – PCR termasuk pengambilan swab di Pulau Jawa dan Bali ditetapkan sebesar Rp275 ribu. Sedangkan tarif tertinggi pemeriksaan RT – PCR termasuk pengambilan swab di luar Pulau Jawa dan Bali, sebesar Rp300 ribu.
Pemprov melalui Dinas Kesehatan NTB telah membuat surat edaran No.441/11/Yankes/X/2021 yang ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Direktur Rumah Sakit, Kepala Laboratorium Pemeriksaan Covid-19 dan Pimpinan Klinik se – NTB tanggal 28 Oktober 2021.
Dalam surat edaran tersebut, Dinas Kesehatan NTB dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pemberlakuan pelaksanaan tarif batas tertinggi untuk pemeriksaan RT – PCR berdasarkan kewenangan masing-masing sesuai ketentuan yang ada. Ditambahkan, Pemerintah akan melakukan evaluasi secara periodik terhadap ketentuan batas tarif tertinggi untuk pemeriksaan RT – PCR.
Batasan tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR tersebut telah ditetapkan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan nomor HK.02.02/1/3843/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan RT-PCR, dan mulai berlaku, Rabu (27/10) lalu. Kemenkes meminta semua fasilitas pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit, Laboratorium dan Fasilitas pemeriksa lainnya yang telah ditetapkan oleh Menteri dapat mematuhi batasan tarif tertinggi RT-PCR tersebut.
Hasil pemeriksaan RT-PCR dengan menggunakan besaran tarif tertinggi tersebut dikeluarkan dengan durasi maksimal 1×24 jam dari pengambilan swab pada pemeriksaan RT-PCR. Dinas Kesehatan Daerah Provinsi dan Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota harus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemberlakuan pelaksanaan Batas Tarif Tertinggi untuk Pemeriksaan RT-PCR sesuai kewenangan masing-masing.
Bilamana ada Laboratorium yang memakai harga tidak mengikuti ketetapan pemerintah, maka akan dilakukan pembinaan melalui Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten. Apabila masih tidak mengikuti aturan yang ditetapkan maka sanksi terakhir adalah penutupan laboratorium dan pencabutan izin operasional. (jun)