Ini adat Bali. Masyarakat Bali umumnya menanam ari-ari di depan rumah. Ada juga yang membuang ke laut. Tapi bagi krama Desa Adat Buyung Gede, Kintamani, kebiasaan itu pantang dilakukan. Mereka menanam ari-ari di setra ari-ari (kuburan), dengan cara digantung di ranting pohon.
Namun untuk melakukan itu, harus diikuti dengan banyak upacara. Banyak pantangan, dan wajib hukumnya untuk dipatuhi.
Jro Bahu Kendri, penglingsir Desa Adat Buyung Gede, membenarkan tradisi di desanya. Memang, sampai sekarang masih dilakukan. Di desa ini ada bhisama yang mengatur masalah bayi dari dalam rahim sampai lahir ke dunia. Ketika masih berupa janin di perut sang ibu, sang suami tidak diperkenankan membangunkan sang ibu yang sedang tidur.
Kalau pantangan ini coba-coba dilanggar sang suami, bayi yang lahir akan cacat fisik. Begitu pula ketika sang ibu akan melahirkan bayi, harus diawali dengan menghaturkan sesaji berupa nasi disertai telor matang. Ini dipersembahkan pada para leluhur yang lahir kembali. Penempatan sesaji ini pun tidak boleh sembarangan.
Begitu bayi lahir, tali pusarnya dipotong dengan ngaad (pisau bambu). Untuk memotongnya, terlebih dulu diikat dengan benang tiga seet (tiga ikat), dialasi kunir dan jeruk lemo.
Setelah itu bayi dimandikan dan diurapi dengan tengeh (campuran kunir dan kapur sirih), kemudian pantatnya ditutup dengan daun lumba-lumba. Jabang bayi kemudian ditaruh di sebuah sok (keranjang) dan diletakkan di natar (halaman) rumah yang disertai upacara.
Sementara, ari-ari (tembuni) diangkat dengan sepit (jepitan bambu). Ditaruh di dalam kelapa yang dikupas serabut dan dibelah. Ari-ari di dalam kelapa itu diberi tengeh, masui, abu, sepit, dan ngaad.
Ditutup, sehingga buah kelapa tampak seperti semula. Bagian bekas belahan kelapa itu ditutup dengan kapur sirih. Setelah itu, dibuatkan penggantungan dari tali bambu dengan ikatan berbentuk salang tabu.
Ari-ari di dalam buah kelapa dibawa ke setra ari-ari (kuburan ari-ari) di selatan desa setempat. Untuk membawa ari-ari dari rumah pun tidak boleh sembarangan. Harus dibawa sang ayah dengan menjinjing pakai tangan kanan. Sementara, tangan kiri memegang arit (sabit).
Ketika berjalan membawa ari-ari dari rumah sampai kuburan (sepanjang jalan), sang ayah pantang bicara dengan siapa pun. Termasuk menjawab pertanyaan orang yang kebetulan berpapasan.
Kalau sang ayah menyahut atau menjawab pertanyaan orang yang menyapanya, itu diyakini sangat berpengaruh terhadap wujud sang bayi ketika besar nanti.
Kalau sang ayah tertawa ketika bicara dengan orang lain, sang bayi ketika besar akan terus ketawa. Sebaliknya, jika cemberut, bayi setelah besar nanti akan cemberut.
Begitu sang ayah sampai di kuburan ari-ari, maka kelapa berisi ari-ari itu dipindahkan ke tangan kiri. Sabit yang semula di tangan kiri dipindahkan ke tangan kanan. Begitu semua rentetan ini selesai, ari-ari digantung di dahan pohon bukak menggunakan tangan kanan.
Proses penanaman ari-ari belum selesai sampai di sini. Masih ada rentetan yang harus dilakukan sang ayah. Yakni mencari daun pohon paku (sayur) bagi yang punya bayi berkelamin perempuan. Daun paku ini dipakai sayur, sedangkan yang tua dipakai sebagai sawen (tanda) di rumah.
Bagi yang punya bayi lelaki, diwajibkan mencari kayu bakar dan pohon paku yang daunnya tua. Kayu bakar dipakai memasak dan daun paku tua dipakai sawen.
Bhisama ini, tegas Jro Bahu Kendari, sama sekali tidak boleh dilanggar. Kalau ada warga melanggarnya, berarti mengembalikan manusia menjadi tanah liat. “Wantah punika sane patut laksanayang wargi tiang”. Artinya, memang sudah begitu aturan yang harus dan patut dilaksanakan warga. rai/jss